Rabu, 30 November 2011

Sosiologi Ekonomi


·      Tugas Sosiologi ekonomi
·      Tugas mencari definisi tentang sosiologi pendidikan menurut para ahli

Ø Definisi  sosiologi pendidikan menurut para ahli :
1.      Menurut Max Weber: sosiologi ekonomi memperthatikan tindakan ekonomi yang mempunyai definisi sosial dan selalu melibatkan makna dan kekuasaan
2.      Menurut Joseph Schumpeter: sosiologi ekonomi berkaitan dengan institusi ekonomi dengan pendekatan sosiologi
3.      Sosiologi ekonomi: studi tentang bagaimana cara orang atau masyarakat memenuhi kebutuhan hidup terhadap barang dan jasa yang langka dengan pendekatan sosiologi


·   Tugas 2, sosiologi ekonomi
·   Mencari perbedaaan antara pasar tradisional dan pasar modern

Pasar tradisional
Pasar modern
Penetapan harga
Tawar menawar
Standarisasi harga
Sosioalisasi
Etika dagang dan sosial
Sosialisasi konsumen
Tekhnologi
Tepat guna
Tekhnologi canggih dan modern
Pencitraan uang
Apa adanya
Simulasi
Hubungan pedagang pembeli
Resiprositas
Hegemoni
Efek pada konsumen
Kreatif
Konsumtif




Metodologi Penelitian Pendidikan


Departemen Pendidikan Nasional
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
Tugas Proposal
Nama               :Neny Lara Amiati Sugiyantoro
NIM                :3401409020
Prodi               :Pendidikan Sosiologi dan Antropologi
Jurusan            :Sosiologi dan Antropologi
Fakultas           :Ilmu Sosial
A.    JUDUL
PELAKSANAAN EVALUASI HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN SOSIOLOGI DI SMA NEGERI 1 KEDUNGWUNI KABUPATEN PEKALONGAN.
B.     LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan salah satu prioritas utama program pembangunan di Indonesia. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan terus dilakukan, mulai dari berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum secara periodic, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, sampai dengan peningkatan mutu menegemen sekolah. Menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secar aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

KETIDAKADILAN PEREMPUAN DALAM MEDIA IKLAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam sebuah iklan, perempuan menjadi bagian yang penting dalam menawarkan produk. Kita ambil contoh saja iklan yang menggunakan perempuan sebagai  pemerannya seperti iklan pembersih muka, sabun mandi, pemutih wajah, pemutih kulit, shampo rambut, pelangsing tubuh dll. Berwajah menarik dengan bodi langsing, tinggi, berkulit putih dengan rambut lurus berwarna hitam kemilau, inilah yang coba diperankan perempuan dalam iklan. Bisa dikatakan bahwa semua perempuan yang ada dalam iklan dianggap berwajah cantik. Cantik adalah kata yang diperuntukkan bagi perempuan untuk menggambarkan sosok perempuan yang dianggap menarik. Kata cantik sejak dulu telah dikonstruksi dalam masyarakat untuk perempuan. Cantik adalah kata yang sebagian besar mengacu pada sifat fisikal. Cantik adalah perempuan, berarti tidak ada perempuan yang tidak cantik. Tetapi dalam kenyataannya ukuran cantik telah dipatok-patokkan oleh media massa. Seperti dalam berbagai macam iklan sampo, iklan kosmetik, iklan sabun. Bahwa cantik adalah mulus, bersih, putih, seksi, berdandan, berbaju ketat, berambut lurus.
Tubuh-tubuh ideal biasanya ditampilkan dalam majalah, film, televisi, dan dunia periklanan, yang menggambarkan atau menyajikan sosok perempuan ideal sebagai suatu figur perempuan yang langsing, berkaki indah, paha dan pinggul ramping, payudara cukup besar, rambut lurus panjang dan kulit putih mulus. Apabila perempuan tidak sesuai dengan kriteria tersebut bisa dikatakan tidak cantik. Untuk itu diciptakan produk yang bisa mengatasi perempuan untuk dikatakan cantik, yaitu pemutih wajah, penghalus kulit, rebonding alat pelurus rambut, obat pelangsing.

Teori Konflik Struktural


A. Teori Konflik Struktural
1. Dielektika Konflik Ralf Dahrendorf
Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66).
Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan “authority”, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf , dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.
Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehinga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.
Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan.
2. Analisis Konflik Lewis Coser
Pada sisi lain dalam pemikiran teori konflik, Coser melihat konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Pandangan teori Coser pada dasarnya usaha menjembatani teori fungsional dan teori konflik, hal itu terlihat dari fokus perhatiannya terhadap fungsi integratif konflik dalam sistem sosial. Coser sepakat pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian konsern pada hubungan antara konflik dan perubahan sosial.
Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang, dan dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara cinta dan rasa benci hadir. Sehingga masyarakat akan selalu mengalami situasi konflik Karena itu Coser membedakan dua tipe dasar koflik (Wallace&Wolf, 1986: 124), yang realistik dan non realistik. Coser sendiri banyak dipengaruhi oleh George Simmel. Simmel dan Coser adalah orang realis yang melihat konflik dan integrasi sebagai dua sisi saling memperkuat atau memperlemah satu sama lain.
Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti sengketa sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber sengketa itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Antara konflik yang pertama dan kedua, konflik yang non realistik lah cenderung sulit untuk menemukan solusi konflik atau sulitnya mencapai konsensus dan perdamaian. Bagi Coser sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus dalam situasi konflik yang sama.