Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatandi masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan social telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia.
Dewasa ini telah terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, di mana apa yang sesungguhnya gender karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai kodrat Wanita adalah konstruksi social dan cultural atau gender, dan sejak sepuluh terakhir kata gender telah memasuki di setiap diskusi. Demikian juga di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan gender itu?
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,jakala dan memproduksi spema. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Sejarah perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara social atau cultural.
Dengan melihat perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan, maka dapat dikatakan bahwa perbedaan itu terjadi secara kodrati. Laki-laki dikodratkan memiliki alat kelamin yang sifatnya member dan perempuan memiliki alat reproduksi yang sifatnya menerima, dengan alat reproduksinya perempuan dapat hamil, melahirkan,dan menyusui. Fungsi kodrati ini tidak dapat ditukarkan dengan laki-laki. Perbedaan secara kodrati inilah yang secara turun temurun menjadikan perempuan memilki kedudukan dan peran yang berbeda dengan laki-laki. Sudah tentu hal ini sangat berkaitan dengan factor social, geograis, dan kebudayaan suatu masyarakat. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Akan tetapi sebaliknya sosialisasi konstruksi social tentang gender ini secara evolusi akhirnya mempengaruhi perkembangan masing-masing jenis kelamin. Misalnya sifat gender laki-laki harus kuat dan agresif sehingga konstruksi social itu membuat lelaki terlatih dan termotivasi menuju dan mempertahankan sifat yang ditentukan tersebutyang memang laki-laki lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya karena konstruksi social bahwa kaum perempuan harus lemah lembut, maka sejak kecil sosialisasi tersebut mempengaruhi perkembangan emosi, visi dan ideology kaum perempuan. Oleh karena itu dalam kurun waktu yang berbeda, pembagian gender juga mengalami perbedaan, termasuk mengakibatkan ketidaadilan terhadap pemberdayaan perempuan, khususnya di Indonesia. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama kaum perempuan. Ketidakadilan dan kesenjangan tersebut dapat meliputi dari berbagai aspek, seperti di bidang pendididkan, pekerjaan, keluarga dan lain sebagainya. Dari ketidakadilan tersebut dapat diajukan pertanyaan, Mengapa perbedaan jenis kelamin harus melahirkan perbedaan-perbedaan gender dan dapat melahirkan suatu ketidakadilan terhadap perempuan?,Aapa saja factor-faktor permasalahan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender tersebut?, Bagaimana peran Pemerintah dalam menangani masalah ketidakadilan terhadap perempuan di Indonesia?
Peran dimaksudkan sebagai pola perilaku yang ditentukan bagi seorang yang menguisi kedudukn tertentu (R. Sarbin dalam Sadli dan Patmonodewa, disunting olrh Ihromi 1995:71). Kesadaran peran manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak bisa lepas dari atribut-atribut sosial yang melekat secara kultural pada diri manusia. Terkait dengan masalah peranan, di jelaskan dalam beberapa teori sebagai berikut. Dalam teori Psikoanalisis dikatakan bahwa perilaku seseorang dengan mengaitkannya pada faktor biologis, seperti Gen, Evolusi, dan Anotomi. Teori sosialisasi menjelaskan bahwa berdasarkan konsep ‘nature-nature’ dan melihat bahwa perbedaan peran Gender merupakan hasil dari tuntutan dan harapan lingkungan. Teori Feminis juga melihatnya demikian (identitas gendr perempuan adalah hasil struktur masyarakat patriakhal). Teori perkembangan kognitif yang meupakan teori interaksi menekankan paa interaksi antara keadaan organism (perkembangan kognitifnya)dan informasi yang ada alam lingkungan budaya. Perilaku yang khas bagi salah satu Gender adalah interaksi antara pengetahuan kognitif di dalam diri seseorangdengan informasi yang ia peroleh dari lingkungannya (Sadli dan Patmonodewo disunting oleh Ihromi, 1995:77-79). Dalam uutan konologis, teori Feminis kontemporer mulai dengan pernyataan bahwa laki-laki memandang perempuan sangat berbeda secara mendasar dibandingkan dia melihat dirinya sendiri maka perempuan direduksi ke status kelas kedua dan oleh karenanya berada dalam status ordinat (Beovoir, 1953). Teori Kate Millet mengenai subordinat menyatakan bahwa perempuan merupakan kelas jenis kelamin yang tergantung di bawah dominasi Patriarkhis. Antropolog Feminis menyatakan bahwa pemisahan dunia publik dan domestik dan penurunan perempuan ke domestik mempertegas subordinasi perempuan ( Rosaldo dan Lamphere, 1974; Ortner, 1974 ). Secara umum subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan salah satu jenis kelamin lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lain. (Astuti, 2008:86 )
Parson menjelaskan tentang pembagian kerja secara seksual, menganalisanya dengan teori Struktur Fungsional, yaitu gambaran mengenai perbedaan pola peran antara laki-laki (sebagai suami) dan perempuan (sebagai istri) dalm satu rumah tangga dengan model peran instrumental digambarkan sebagai peran instrumental dan peran ekspresf. Peran instrumental digambarkan sebagai peran yang berorientasi eksternal yang digunakan untuk mencapai tujuan keluarga dan peran ini dilakukan oleh suami atau kaum laki-laki. Sebaliknya, peran yang digambarkan sebagai peran ekspresif yang berorientasi internal ditujukan untuk memelihara kesejahteraan keluarga dilakukan oleh kaum perempuan atau istri. Pola peranan yang digambarkan tersebut, oleh Parson digunakan sebagai dasar untuk memahami proses sosialisasi dan differensiasi peranan menurut jenis kelamin atau seks yang berguna untuk mempertahankan keseimbangan keluarga dan system social secara keseluruhan (Parson dalam Wisadirana, 2004: 140). Dalam teori marxis klasik, terjadinya perubahan status perempuan hanya dapat melalui revolusi sosialis, dengan cara menghapus pekerjaan domestic (rumah tangga). Jelas sekali, dalam hal ini, mereka sangat meremehkan Feminitas dan menggungkan Maskulinitas.
Seperti dikatakan diatas bahwa aplikasi dan implikasi Gender di masyarakat belum sesuai dengan yang diharapkan, karena maslh sangat dipengaruhi oleh faktor social budaya setempat. Perbedaan Gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan Gender (gender inequlities). Ketidakadilan Gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya : subordinasi, marginalisasi, beban kerja lebih banyak, dan stereotip. Ketidakadilan yang dilahirkan oleh perbedaan Gender inilah yang sesungguhnya sedang dipertanyakan. Ternyata dari sejarah perkembangan hubungan yang tidak adil, menindas, serta mendominasi antara kedua jenis kelamin tersebut. Bentuk manifestasi ketidakadilan Gender adalah dalam mempersepsi, member nilai serta dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Ada beberapa mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan Gender. Dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan Gender adalah adanya program di bidang pertanian, misalnya : revolusi hijau yang memfokuskan pada petani laki-laki mengakibatkan banyak perempuan tergeser dan menjadi miskin. Contoh lain adanya pekerjaan khuhus perempuan seperti guru kanak-kanak, pekerja pabrik yang berakibat pada penggajian yang rendah. Sedangkan perempuan yang tersubordinasi terjadi karena faktor-faktor yang dikonstruksikan secara social. Hal ini disebabkan karena belum terkondisikannya konsep Gender dalam masyarakat yang mengakibatkan diskriminasi kerja bagi perempuan.bentuk subordinasi perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai oleh kaum laki-laki. Hal ini menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan sendiri akhirnya menganggap pekerjaan domestik dn reproduksi lebih rendah dan ditinggalkan. Keyakinan Gender ternyata ikut menyumbangkan diskriminasi rehadap posisis buruh perempuan dalam struktur perusahaan dan pabrik-pabrik.
Terdapat juga masalah Gender dan stereotip atas pekerjaan perempuan, di sini dijelaskan bahwa stereotip adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu dan stereotip adalah bentuk ketidakadilan. Dengan banyak pelabelan tersebut tentu saja akan muncul banyak stereotip yang oleh masyarakat sebagai hasil hubungan social tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, perempuan identik dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, maka peluang perempuan untuk bekerja di luar rumah sangat terbatas, bahkan ada juga yang berpendidikan tidak pernah menerapkan pendidikannya untuk mengatualisasikan diri. Sedangkan kekerasan juga selalu menimpa kaum perempuan.. kekerasan (violence) adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integras mental psikologis seseorang. Salah satu jenis kekerasan yang bersumber pada anggapan Gender disebut sebagai “gender-related violence”, yang pada dasarnya disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan kekerasan Gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai di tingkt Negara. Tanpa disadari, pembedaan tugas dan peran telah menghambat potensi dasar laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Kekersan terhadap perempuan sering terjadi karena budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Kekerasan digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan sering kali hanya untuk menunjukan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Pada dasarnya kekerasan Gender adalah refleksi dari sistem patriarkhi yang bekembang di masyarakat.
Dengan berkembangnya wawasan kemitrasejajaran berdasarkan pendekatan gender dalam berbagai aspek kehidupan, maka peran perempuan mengalami perkembangan yang cukup cepat. Namun perlu di cermati bahwa perkembangan perempuan tidaklah “mengubah” perananya yang “lama” yaitu peranan dalam lingkup rumah tangga (peran reproduktif). Maka dari itu peranan perempuan inin sifatnya menambah, dan umumnya perempuan mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan. Untuk itulah beban kerja perempuan terkesan berlebihan. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestic menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Sehingga kaum perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka harus bekerja membantu mencari nafkah. Mereka bekerja berat, tanpa perlindungan dan kebijaksanaan dari Negara. Kesetaraan laki-laki dan perempuan meliputi kesetaraan kedudukan dalam tata hokum dan perundang-undangan, maupun dalam pola atau gaya hidup sehari-hari dalam kelurga maupun masyarakat. Berdasarkan jaminan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pancasila dan UUD 1945 serta berbagai instrument internasional yang dimaksud dengan kesetaraan adalah perwujudan jaminan dalam tata hokum ke dalam pola atau hidup sehari-hari, yang ditandai oleh sikap laki-laki dan perempuan dalam hubungan mereka atu sama lain, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat yang saling peduli, saling menghargai, saling membantu, saling mendukung, saling memberdayakan dan saling memberi kesempatan untuk tumbuh kembang dan mengembangkan diri secara optimal dan teru-menerus, maupun untuk menentukan pilihan bidang pengabdian pada masyarakatnya dan pembangunan bangsanya serta masyarakat dunia, secara bebas dan bertanggung jawab (Acmad dalam Sumiarni 2004: 25-26). Sejak kanak-kanak di lingkunagn keluarga diciptakan konteks social budaya yang membedakan pekerjaan berdasarkan Gender. Jenis-jenis pekerjaan domestic seperti mencucu piring, mencuci pakaian, menyapu, menyetrika, memasak, mengepel dianggap sebagai pekerjaan-pekerjaan yang cocok dilakukan oleh anak perempuan. Oleh karena itu, sejak kecil anak perempuan dilatih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Sedangkan jenis pekerjaan seperti membetulkan sepeda, membetulkan peralatan elektronik yang rusak, membetulkan genteng yang bocor dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang akan mengarahkan kepada mereka dlam wilayah publik yang dianggap cocok dikerjakan oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, sejak kecil anak laki-laki dilatih untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Maka tidak heran jika pendidikan bidang teknik dianggap cocok untuk laki-laki, sedangkan bidang social untuk perempuan (Sukarni, 1997:67 ). Jadi di dalam keluarga dapat berfungsi secara efektif, jika ada pembagian kerja secara seksual antara pria dan wanita dengan peran yang sangat berbeda. Pria dalam keluarga harus menjadi instrument atau pengarah untuk mencapai tujuan, mendorong terwujudnya keluarga dan mampu mengontrol diri sendiri. Sedangkan wanita yang bekerja di luar rumah masih memiliki fungsi internal dalam keluarga, ibu sebagai pendorong bagi setiap anak dalam pengasuhan yang harus menjadi tanggung jawabnya.
Didalam hubungan keluarga dan pekerjaan kesejajaran antara pekerjaan dan kewajiban peran utama ayah dan ibu dalam keluarga sudah jelas. Sang ibu mulai dengan pengasuhan anak, menanamkan ikatan badaniah dan rohaniah yang dekat karena kepuasan yang timbal balik. Ia bertugas menghibur, merawat, mendamaikan kembali mereka yang berselisih. Sedangkan sang ayah adalah tokoh pemimpin, mengatur tenaga kerja keluarga untuk produksi, pertentangan politik atau perang. Ia harus memecahkan persoalan-persoalan yang ada dilingkungan luar, baik sosial maupun jasmaniah. Karena adanya pembagian tugas sosial ini, keluarga yang mempunyai ibu yang lemah atau tidak berfungsi, atau ayah yang dingin dan kejam, sedikit kemungkinan gagal dalam tugas pemasyarakatan dari pada yang mempunyai ibu yang dingin, tidak mau mengalah atau ayah yang lemah dan tidak berguna. Alokasi tugas sosial ini terdapat pada kebanyakan masyarakat. Dapat disebutkan disini perbedaan-perbedaan lain dalam kedudukan sosial dibandingkan dengan keluarga. Salah satu yang sama dibandingkan dengan aneka ragamnya ketidak setujuan yang ada diantara masyarakat mengenai hubungan seks sebelum atau diluar perkawinan ialah bahwa mungkin semua untuk memberikan kekekangan yang sama terhadap laki-laki maupun perempuan.
Menduduki tingkatan dan pangkat yang berbeda dan mengerjakan pekerjaan yang berbeda-beda, laki-laki dan perempuan dengan sendirinya agak bertentangan satu dengan yang lain. Apalagi jika keduanya menghadapi persoalan yang sama. Perbedaan yang diperkirakan ada diantara laki-laki dan perempuan dalam soal pemikiran mereka telah menjadi bahan tulisan.
Wanita dikatakan sebagai determinis, terutama determinis psikologis, laki-laki menekankan bahwa individu itu bebas, bahwa orang yang mau melakukan seuatu yang dapat melakukannya. Ada semacam paradox dalam keyakinan wanita akan kesempurnaan, suatu pendapat bahwa manusia dapat dibuat lebih baik. Laki-laki mengenyampingkan hal tersebut sebagai suatu yang naif. Tetapi, wanita akan lebih dapat menyesuaikan diri pada kekeras kepalaan dan ketidak luwesan orang lain, sedangkan laki-laki lebih cenderung untuk memaksakan perbaikan yang terus menerus.
Dalam hal pendidikan juga demikian, struktur pendidikan menentukan pola kehidupan wanita. Banyaknya pendidikan dan tipe pendidikan yang diterima, mempengaruhi pekerjaan serta imbalan-imbalan ekonomi yang diterima oleh kaum perempuan. Pendidikan sekolah merupakan sebuah isu signifikan bagi wanita sekarang, karena mereka banyak terlibat dalam sejumlah tingkatan dan aneka ragam lingkungan, mulai dari pendidikan prasekolah dan taman kank-kanak, hingga sekolah menengah, dan barang kali perguruan tinggi, dengan bergerak melalui struktur yang sama seperti murid laki-laki. Sebagai pendidik, wanita juga melakukan peran sebagai administrator dan guru yang mencerminkan pola-pola feminitas yang sama dengan feminisasi dalam pasar tenaga kerja yang lebih besar. Guru wanita dikucilkan menurut mata pelajaran, dan bidang-bidang terbatas tempat mereka mengajar dan pendidik wanita pada umumnya dibayar dengan gaji yang telah difeminisasi. Perluasan kesempatan tingkat pendidikan bagi wanita sejak tahun 1860-an tak pernah merata. Proporsi wanita kulit putih yang dididik dalm sekolah-sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama yang telah meluas, tru-menerus bertambah, namun tingkat kelulusan mereka sedikit ketinggaln dari laki-laki.
Dalam hal kesehatan perempuan juga mengalami ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan Gender. Para perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi rentan karena ketidakadilan gender. Demikian dikatakan Assoc. Prof. Dr. Rosalia Sciortino, Pemerhati/Ahli Sosial Kesehatan pada acara sarasehan ‘Selamatkan Ibu dan Bayi dari Infeksi HIV’ di Jakarta.
Menurut Rosalia, ketidakadilan gender di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi. Dalam akses layananan pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS seringkali antara perempuan dan laki-laki tidak sama.Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di Indonesia. Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.“Banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, Indonesia pernah punya presiden perempuan, yang dulu tidak mungkin dibayangkan. Dulu perempuan tidak bisa keluar rumah, sekarang bisa. Dulu perempuan tidak jadi supir taksi, dan ini selalu berubah dan dinamis. Hal ini sangat penting untuk selalu kita ingat.
Gender adalah masalah sosial,Persoalan gender terjadi karena peran laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan hubungan antara peran-peran tersebut. Peran laki-laki dan perempuan diterima sebagai kenyataan yang statis dan tidak ada usaha untuk mempertanyakan keadilan dari peran-peran tersebut. Peranan gender terbentuk melalui perkembangan sejarah, ideologi, agama, politik, kebudayaan dan ekonomi. Salah satu jalan untuk merubah adalah dengan berubahnya nilai-nilai masyarakat, dan juga perlu gerakan sosial.
Persepsi yang salah juga mempengaruhi persoalan gender. Antara gender dan seks tidaklah sama. “Kita tahu, ketidakadilan gender mempunyai dampak terhadap kesehatan seksual dan reproduksi. Karenanya keadilan gender harus menjadi fokus perhatian dalam semua analisa dan kegiatan HIV/AIDS. Perlu ada usaha untuk mengubah sistem-sistem sosial yang membuat perempuan rentan terhadap HIV.Dalam konteks hubungan seksual, perempuan seringkali tidak mampu mengambil keputusan untuk dapat melakukan seks yang aman. Hal tersebut akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS, merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada kelompok tertentu. Analisisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya. Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat perempuan rentan terhadap HIV.Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada individu, bukan relasi atau jaringan sosial yang terikat individu dengan kekuasaan yang berbeda. Program-program nasional semestinya menfokuskan pada perempuan secara keseluruhan, tidak terbatas pada pekerja seks. Sementara pada aksi kampanye nasional, kondom misalnya, terjadi bias gender dalam promosi kondom. Perlu ada akses informasi yang sama bagi perempuan, termasuk perlu ada alokasi dana khusus bagi kelompok perempuan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Dalam skala lebih luas, Rosalia juga mengkritisi bantuan internasional yang umumnya tidak memberi perhatian pada kelompok perempuan secara khusus.Rosalia menambahkan, agar kebijakan HIV/AIDS lebih efektif maka program dan pelaksanaannya harus merefleksikan perspektif gender. Perlu ada pengakuan pentingnya gender. Perlu ada upaya memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, politik perempuan yang berhubungan dengan usaha penanggulangan AIDS, dan membangun kesadaran bahwa persoalan gender masih belum menjadi bagian integral program-program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Selain itu memperbanyak penyuluhan dan usaha memberdayakan perempuan agar mampu melindungi diri.
Pandangan lain menyatakan bahwa bahasa tidak semata-mata berfungsi sebagai ceminan masyarakat. Namun, bahasa di implikasikan secara kuat dalm konstruksi dan pelestarian pembagian social dan ketidaksetaraan. Trudgill (1974) mengemukakan bahwa permpuan lebih sering menggunakan ragam bahasa prestise dibandingkan denagn laki-laki, sebagian disebabkan mereka lebih sadar status dan lebih peka terhadap arti penting sosial bahasa. Dalm beberapa hal, perbedaan jeni kelamin dalam menggunakan ragam-ragam bahasa sepadan denagn perbedaa-perbedaan kualitas suara. Signifikan sosial tampak dalam saling berpengaruhnya antara asosiasi indeksal dan simbolis dari suara-suara yang berbeda dan ragam bahasa yang berlainan, dan evaluasi kedua aspek tuntutan tersebut melibatkan gagasan yang kompleks mengenai feminitas dan maskulinitas yang dapat membedakan atribut-atribut individu. Meskipun kualitas suara secara khusus terkait dengan gagasan biologis gender dan seksualitas, penelitian ragam bahasa mengintrodusir unsure-unsur asosiasi kelas yang kuat, dan kondisi ekonomi maupun sosial.
Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan,namun karena berbagai factor hal itu jarang terjadi. Factor utamanya adalah pandangan stereotip bahwa dunia politik adalah dunia public, dunia yang keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh dengan debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran cerdas, yang semuanya itu diasumsikan milik laki-laki bukan perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni dapur atau domestic”, tidak bisa berpikir rasional dan kurang berani mengambil resiko, yang kesemuanya itu sudah menjadi stereotip perempuan. Pere3mpuan hanya dibutuhkan di bidang politik jika kaum laki-laki atau politikus akan meraih suatu posisi puncak atau jabatan politik tertentu. Di indonesi kita bisa mencermati naiknya Megawati sebagai presiden, pertama ia di tolak meskipun sebenarnya dia merupakan pemimpin partai pemenang pemilu dengan bebagai alasan yang tidak masuk akal, bahkan menggunakan dalil-dalil agama yang dipolitisir untuk menghambat naiknya Megawati.kemudian pada tahap berikutnya dia dijadikan presiden hanya untuk mengisi kekosongan dan ternyata hanya sebagai boneka para pelaku politik yang semuanya adalah laki-laki.
Banyak hal yang terkait dengan ekonomi yang menyebabka perempuan tak di akui perannya karena kiprahnya hanya seputar ekonomi keluarga dan rumah tangga. Masih sedikit pengakuan pada kaum perempuan ketika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku ekonomi karena dianggap itu hanya kerja main-main bukan kerja yang pristius, seperti halnya yang dilakukan oleh laki-laki. Kroisis ekonomi yang berakibat di PHK nya laki-laki menyebabkan kaum perempuan tampil menjadi penyelamat hidup keluarganya, mereka melakukann kerja apa saja asal bisa bertahan hidup, menjadi TKW, jualan makanan, menjadi tukang cuci, menjadi uruh pabrik, namun jeri payah mereka tetap belum diakui sebagai nafkah utama melainkanhanya nafkah tambahan. Banyak hal lain yang masih mencerminkan ketimpangan di bidamg ekonomi, misalnya upah perempuan lebih rendah daripadaa laki-laki untuk tanggung jawab yang sama besar, karena perempuan dianggap lajang, bukan kepala keluarga. Bila akan mengajukan kredit ke bank masih harus memerlukan tanda tangan suami, sementara jika suaminya yang mengajukan tak perlu minta tanda tangan istri. Meskipun kenyataannnya nanti isrilah yang bertanggung jawab terhadap utang tersebut.
Selama ini ranah domestik (rumah tangga) selalu diasumsikan sebagai dunia perempuan dan ranah publik (dunia kerja) selalu diasumsikan sebagai dunia laki-laki. Melihat kenyataannnya bahwa perempuan dalam berbagai kasus lebih mobile daripada laki-laki, lebih aktif dalam berbagai aktivitas dan terlibat langsung dalamproses pengambilan keputusan. Gambaran kerasnya dunia publik tersebutmenunjukan bahwa perempuan belum diakui sebagai pekerja professional. Konsep perempuan sebagai ibu dan istri mengalami perluasan ke sector publik yang seharusnya mengahargao profesionalisme. Perempuan sebagai obyek masih mendapatkan penekanan saat mereka terlibat dalam bidang publik, padahal perempuan sudah mampu memainkan peran sebagai subyek dalam berbagai proses ekonomi. Perempuan yang bekerjayang menyandang banyak beban akan berimplikasi terhadap segala aspek kehidupannya. Sudah pasti ketika dia bekerja aka nada pergeseran-pergeseran peran dalam kehidupan rumah tangganya.
Di bidang hukum masih banyak pasal-pasal dalam aturan hokum yang mendiskriminasikan perempuan. Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan masih diproses dengan aturan-aturan hukum yang sangat merugikan bagi kaum perempuan. Misalnya pasal untuk kasus pemerkosaan. Ini dijadikan acuan oleh pelaku aturan hokum selama bukan alat kelamin laki-laki yang melakukan penetrasi bukan pemerkosaan tetapi pelecehan atau tindak kekerasan yang hukumnya sangat ringan jika dibandingkan pasal pemerkosaan. Padahal akibat yang ditimbulkan dari kasus tersebut sama beratnya bagi perempuan. Selain itu, kebanyakan perempuan karena kurangnya pendidikan yamg memiliki kebanyakan masih buta terhadap aturan-aturan hukum. Setiap mendengar kata “hukum” mereka takut karena didalam benak mereka tu merupakan sesuatu yang menakutkan. Karena
Secara kasar kita bisa mengamati tahapan-tahapan dari perjuangan isu perempuan dari ketidakadilan gender oleh kaum perempuan di Indonesia. Meskipun gerakan feminisne di Indonesia sudah terdengar sejak awal tahun 60-an namun baru menjadi isu dalam kaitannya dengan pembangunan pada tahun 70-an oleh sejumlah akivis LSM. Secara sederhana dapat di bagi dasawarsa tahapan. Dasawarsa pertama adalah tahapan “Pelecehan”. Selama tahun 1975-1985 hampir semua aktivis LSM menganggap masalah gender bukan menjadi masalah penting, bahkan banyak yang melakukan pelecehan. Umumnya mereka tidak menggunakan analisis gender, sehingga reaksi terhadap masalah itu sendiri sering menimbulkan konflik antara aktvis perempuan dan lainnya. Perlawanan terhadap masalah perempuan di kalangan aktivis mengambil bentuk bermacam-macam, umumnya bentuk perlawanannya adalah dengan penjinakan demi kelancaran proyek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan. Pada dasawarsa kedua adalah tahun 1985-1995, dasawarsa tersebut pada dasarnya merupakan dasawarsa pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Banyak orang menganggap bahwa masa pengenalan analisis gender tersebut erat kaitnnya dengan kuatnya lembaga-lembaga donor tentang masalah tersebut. Pada dasawarsaa mendatang, dua stategi utama diusulkan, yakni pertama, mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan, dan, kedua strategi advokasi. Untuk yang pertama, diperlukan suatu tindakan yang diarahkan menuju terciptanya kebijakan managemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif gender bagi setaip organisasi. Ini berarti upaya penanganan masalah perempuan dan interior, sehingga transformasi gender sebagai jalan menuju transformasi sosial yang lebih luas, harus merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi. Tentu saja, dalam hal tersebut, sangat dibutuhkan perubahan peran gender, baik perempuan dan laki-laki.
Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat, karena masalah yang sangat intens, dimana masing-masing terlibat secara emosional. Banyak terjadi perlawanan manakala perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan, karena menggugat masalah gender sesungguhnya juga berarti menggugat privilege yang kita dapatkan dari adanya ketidakadilan gender. Persoalannya, spectrum ketidakadilan gender sangat luas, mulai yang ada di kepala dan di dalam keyakinan kita masing-masing, sampai urusan Negara. Dengan demikian bila kita memikirkan jalan keluar, pemecahan masalah gender perlu dilakukan secara serempak. Pertama-tama perlu upaya yang bersifat jangka pendek yang dapat memecahkan masalah-masalah praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah berikutnya adalah usaha jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan cara strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan. Dari segi pemecahan praktis jangka pendek, dapat dilakukan upaya-upaya program aksi yang melibatkan perempuan agar mereka mampu membatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah marginalisasi perempuan di pelbagai projek peningkatan pendapatan kaum perempuan, perlu melibatkan kaum perempuan dalam program pengembangan masyarakat, serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dan menjalankan kekuasaan I sector publik
Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan, perlu diupayakan pelaksanaan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek. Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan pelbagai stereotip terhadap kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu mulai digalakkan. Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan berarti mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk melanggengkannya. Pelaku penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan seringkali salah kaprah bahwa ketidaktegasan dianggapnya karena diam-diam perempuan juga menyukainya. Perlu kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan dan segala bentuk yang merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan, maka usaha untuk menghentikan secara bersama perlu digalakkan. Termasuk ke dalam kegiatan praktis jangka pendek adalah mempelajari pelbagai tehnik oleh kaum perempuan sendiri guna menghentikan kekerasan, pemerkosaan dan pelecehan. Misalnya mulai membiasakan diri mencatat setiap kejadian dalam buku harian, termasuk sikap penolakan dan response yang diterima, secara jelas kapan dan dimana. Catatan ini kelak akan berguna jika peristiwa tersebut ingin diproses secara hokum. Usaha seperti menyuarakkan uneg-uneg ke kolom “surat pembaca” perlu diintensifkan. Usaha ini tidak saja memiliki dimensi praktis jangka pendek tetapi juga sebagai upaya pendidikan dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum perempuan bagi masyarakat luas. Usaha perjuangan stategi jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Mengingat usaha-usaha praktis di atas sering kali berhenti dan tidak berdaya hasil karena hambatan ideologis, misalnya bias gender, sehingga sistem masyarakat justru akan menyalahkan korbannya, maka perjuangan stategis ini meliputi pelbagai peperangan tersebut misalnya dengan melancarkan kampane kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk menghentikan pelbagai bentuk ketidakadilan gender. Upaya strategi itu perlu dilakukan studi tentang pelbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya baik di masyarakat, Negara maupun dalam rumah tangga. Bahkan kajian ini selanjutnya dapat dipakai untuk melakukan advokasi guna mencapai perubahan kebijakan, hukum dan aturan pemerintah yang dinilai tidak adil terhadap kaum perempuan.
Dari wacana di atas dapat disimpulkan bahwa betapa rendahnya kedudukan seorang perempuan. Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri seorang laki-laki dan perempuan, sehingga terjadi ketidakadilan dan kesetaraan yang beimbas pada perempuan. Padahal di jaman sekarang laki-laki dan perempuan statusnya adalah sama, yang membedakan hanyalah kodrat yang sudah di beri oleh Tuhan. Namun perempuan tetap saja di anggap sebagai seseorang yang berkedudukan rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan hanya pantas sebagai domestik (rumah tangga), tidak boleh bekerja di luar rumah, seperti menangani masalah di bidang politik,dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan ketimpangan terhadap peran perempuan akibat perbedaan gender.
Ada baiknya masalah tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi, karena hal itu akan menambah masalah semakin panjang dan tidak akan ada habisnya, biarkan seorang perempuan berekspresi sesuai dengan keinginannya, namun tetap tidak melupakan kewajiban sera perannya di dalam keluarga sebagai seorang ibu dan seorang istri. Apalagi jika melihat pekembangan jaman yang pesat. Sudah waktunya perempuan bangkit dari ketidakadilan yang disebabkan oleh perbedaan gender. Karena sekarang status perempuan dan laki-laki adalah sama.
DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Monsour. 1999.Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode, William. 2002. Sosiologi Keluarga. Jakarta: bumi Aksara.
Ihromi, T.O.2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: yayasan Obor Indonesia.
Handoyo, Eko. DKK. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. FIS.UNNES, Semarang.
Setyobudi, Teddy Dwi. 2007. Sosialisasai Gender Terhadap Anak Dalam Keluarga Yang Ibunya Bekerja Di Sektor Formal. Skripsi.UNNES, Semarang.
Nurlaili,Ika. 2010. Relasi Gender Dalam Kehidupan Pondok Pesantren Salafi. Skripsi. UNNES,Semarang.
Handayani, Trisakti dan Sugiyati. 2002. Konsep dan Tehnik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar