Rabu, 07 Desember 2011

Masyarakat Majemuk


Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada zaman penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang di Indonesia. Dan ada yang didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Dalam tulisan singkat ini akan ditunjukkan bahwa perjuangan hak-hak minoritas hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk dirubah menjadi masyarakat multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai. Tulisan ini akan dimulai dengan penjelasan mengenai apa itu masyarakat Indonesia majemuk, yang seringkali salah diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai masyarakat multikultural. Uraian berikutnya adalah mengenai dengan penjelasan mengenai apa itu golongan minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan golongan dominan, dan disusul dengan penjelasan mengenai multikulturalisme. Tulisan akan diakhiri dengan saran mengenai bagaimana memperjuangkan hak-hak minoritas di Indonesia.

Masyarakat Majemuk Indonesia
Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat sukubangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang mencolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat sukubangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Dalam perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan masyarakat-masyarakat sukubangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah nasional dengan masyarakat sukubangsa dalam masyarakat jajahan selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di Hindia Belanda dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang didukung oleh para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk kelompok-kelompok sukubangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai kekutan militer dan polisi yang disertai dengan kekuatan hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalam penjajahan Hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya, dan kemudian yang terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah mengenal peradaban dan mereka yang belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur nasional yang berlaku ini, terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan serta minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
 Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah Jepang yang merupakan pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat sukubangsa yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia dieksploitasi secara habis-habisan, baik yang berupa sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (ingat Romusha), yang merupakan kelompok minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan, mereka memerdekakan diri pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan kesukubangsaan, keyakinan, keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah pusat. Seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di Jawa Barat, DI/TII di Sulawesi Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, dan berbagai pemberontakan serta upaya memisahkan diri dari Republik Indonesia, seperti akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, Riau, dan Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah antar sukubangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Semuanya ini menunjukkan adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat sukubangsa, konflik diantara masyarakat-masyarakat sukubangsa dan keyakinan keagamaan yang berbeda di Indonesia.
Dalam era diberlakukannya otonomi daerah. Sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya dikuasai serta didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau mereka yang secara sukubangsa adalah sukubangsa yang asli setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan dominan?


Hubungan Dominan-Minoritas
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka itu hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif, sebab mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana mereka hidup dan mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Semua itu karena mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, serta keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
 Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya:
1.      perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan.
2.      sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajatnya itu adalah berbeda dari mereka dan tergolong sebagai orang asing.
3.      adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajatnya itu akan mengambil sumber daya-sumber daya tersebut.
Dalam pembahasan tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya serta dengan diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan dan minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya.
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif adalah sukubangsa (termasuk golongan RAS, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, Karena golongan dominan mempunyai kekuatan lebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer maupun polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lain yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut pendapat saya, cara yang terbaik adalah dengan merubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Multikulturalisme dan Kesederajatan
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan RAS), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.
Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran serta pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia nantinya akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia, sebagai sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri, serta akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakan sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan.
Program penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakan dari SD sampai dengan Sekolah Menengah Atas, dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM dan yang sejenis.
Mengapa perjuangan anti diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajat dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh LSM untuk meningkatkan derajat mereka mungkin dapat dilakukan melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.
















Posted on 15 Juli 2008 by ave in Pojok, Riset
Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme.
Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal ini,
1.      Baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar penggambaran fakta-fakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna.
2.      Setelah menggambarkan fakta ilmu-ilmu sosial haruslah menjelaskan keterkaitan antara fakta-fakta yang beragam tersebut tersebut. Ilmu sosial haruslah mampu menunjukkan relasi yang memberikan kerangka berbagai data yang ada.
3.      Di dalam ilmu-ilmu sosial problem mengenai sudut pandang sangatlah penting untuk diperhatikan. Suatu masalah bisa begitu signifikan di lihat dari satu sudut pandang tertentu, tetapi juga bisa menjadi sangat tidak signifikan jika dilihat dari sudut pandang lain.
Seorang ilmuwan sosial haruslah memberikan argumen yang kuat, jika ia hendak memutuskan bahwa satu sudut pandang dianggap lebih penting daripada sudut pandang lain. Myrdal merumuskan pandangannya ini dalam konteks analisisnya problem multikulturalisme di Amerika. Pertanyaan yang menjadi fokusnya adalah struktur, institusi, dan kebijakan macam apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan konstitusi dasar Amerika?
Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat fakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama yang berbeda jelas sangat relevan untuk Indonesia. Dalam hal ini tentunya kita bisa banyak belajar dari pada peneliti dan ilmuwan yang sudah banyak melakukan analisis di bidang ini. Pelajaran yang ditarik bisa di level deskripsi data, tetapi juga lebih dari itu, yakni suatu konsep tentang masyarakat multikultural, seperti Indonesia, yang ideal. Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menelusuri beberapa pendapat John Rex mengenai problematika multikulturalisme di dalam masyarakat majemuk.
Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk
Mari kita telusuri beberapa gagasan mengenai tata masyarakat di dalam konteks masyarakat majemuk. Teori sosiologi klasik biasanya selalu berfokus pada konflik-konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat yang kurang lebih homogen. Pada 1939 Furnivall membuat terobosan baru dengan mencoba memahami dinamika dan problematika masyarakat plural. Kebetulan juga ia mencoba mempelajari dinamika masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia menemukan fakta menarik. Di Indonesia banyak orang yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama hidup di dalam daerah yang sama. Akan tetapi interaksi sesungguhnya justru dilakukan di dalam pasar, dan bukan di tempat tinggal mereka. Artinya walaupun setiap orang hidup di dalam wilayah yang memiliki nilai moral dan agama yang berbeda-beda, tetapi mereka bisa bertemu di pasar. Pasar dianggap sebagai tempat yang tidak memiliki kontrol moral ataupun religius partikular. Di Eropa kapitalisme berkembang sangatlah lambat, dan melibatkan interaksi yang luar biasa rumit dengan nilai-nilai moral di dalam budaya maupun agama. Hal ini tidaklah terjadi di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia selalu melibatkan pasar, di mana relasi yang terjadi adalah relasi dominasi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.
Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini:
1.      Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri.
2.      Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar.
Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatif antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatif itu yang akan menjadi pengikat kehidupan bersama?
Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah M.G Smith. Menurutnya suatu masyarakat yang homogen selalu memiliki seperangkat aturan sistem sosial yang uniter. Artinya masyarakat tersebut mempunyai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan privat, religius, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi masyarakat majemuk tidaklah memiliki hal semacam itu. Masyarakat majemuk ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia, dan masing-masing aturan nilai tersebut bersifat total hanya bagi orang-orang yang berada di dalam kultur ataupun agama tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama. Bahkan menurut Smith, masyarakat majemuk justru diikat oleh adanya dominasi kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Jadi elemen yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis sebagai masyarakat justru adalah dominasi. Dalam konteks ini Smith menawarkan suatu model untuk menjelaskan terjadinya diskriminasi rasial di dalam masyarakat majemuk.
Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial. Rex menawarkan tiga model dalam konteks ini. Pertama, kita dapat memikirkan sebuah masyarakat yang memiliki ruang publik yang tunggal, namun justru mendorong terciptanya perbedaan di dalam ruang privat. Kedua, kita dapat membayangkan sebuah model masyarakat, di mana masyarakat sekaligus mendorong kesatuan di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Kesatuan tersebut tentunya didasarkan pada seperangkat nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Ketiga, suatu masyarakat juga dapat mendorong perbedaan dan mengakui pluralitas nilai sekaligus di ruang publik, dan di dalam ruang privat. Masyarakat multikultur yang ideal, menurut Rex, adalah masyarakat yang memenuhi model pertama, di mana setiap orang dan setiap kelompok diberi kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai maupun cara hidup mereka, namun tetap mengacu terus pada ruang publik bersama sebagai satu kesatuan. Model kedua adalah model yang dipakai oleh praktek-praktek kolonialisme, seperti pada sistem Apartheid di Afrika Selatan.
Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan Rex mengenai ruang privat dan ruang publik ini. Menurutnya refleksi tentang ruang publik dan ruang privat masihlah jarang ditemukan di dalam teori-teori sosiologi klasik. Para pemikir klasik cenderung untuk memandang masyarakat sebagai kumpulan institusi yang saling terhubung, dan kemudian membentuk satu sistem tunggal. Pandangan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam pemikrian Talcott Parsons, serta para pemikir Strukturalis Perancis, seperti Althusser. Mereka cenderung untuk berpendapat bahwa ruang publik dibentuk oleh semacam moralitas bersama, dan moralitas itu pula yang mengatur kehidupan ruang privat melalui institusi-institusi sosial, seperti institusi agama.

3 komentar:

  1. terlalu rame warna warni..sehingga substansi materi jadi tenggelam didalam keramaian

    BalasHapus
  2. Sudah ada peningkatan dan layak untuk dibaca. .hehehe. . .semangat buat lara :D

    BalasHapus