Konflik yang terjadi antara pemerintah RI dan GAM di Aceh adalah salah satu bentuk konflik yang besar sepanjang sejarah konflik di Aceh, terbukti dengan RI menganggap bahwa GAM ingin memerdekakan Aceh sendiri dan ingin keluar dari NKRI.
Namun dengan adanya suatu perjanjian damai diantara kedua belah pihak membawa pengaruh besar dari RI maupun GAM, perjanjian tersebut ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Namun dengan adanya suatu perjanjian damai diantara kedua belah pihak membawa pengaruh besar dari RI maupun GAM, perjanjian tersebut ditanda tangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Semenjak bencana tsunami melanda Aceh yang menewaskan beberapa ratus jiwa dan memporak porandakan seluruh wilayah Aceh membuat kedua belah pihak yang berkonflik terketuk dan menyentuh hati antara RI dan GAM untuk berdamai, terbukti dengan adanya negosiasi diantara mereka, yang dinamakan momentum emas.
Bagian tiga dari Nota kesepahaman membantru proses reintegrasi mantan kombatan GAM dan tahanan politik ( tapol ). Banyak pihak yang mengartikan bahwa reintegrasi adalah “ pembauran kembali ” mantan kombatan GAM kedalam aktivitas social masyarakat. GAM yang semasa perjuangan menerapkan metode gerilya dimana masyarakat menjadi benteng utama perjuangan yang telah berhasil mempertahankan eksistensi politik GAM selama 28 tahun di Aceh.
Reintegrasi Aceh secara umum harus didefinisikan sebagai pembauran kembali masyarakat Aceh kedalam tatanan system politik dan ekonomi, namun pengalaman internasional menunjukan bahwa kehidupan militer dan kehidupan bisa bermasalah, termasuk perempuan akan tersisih. Setiap orang membutuhkan pekerjaan dan keahlian baru, termassuk GAM yang membutuhakan tempat tinggal, tanah dan akses terhadap layanan kesehatan.
Perdamaian yang tercapai antara GAM dengan pemerintah RI menyisakan permasalahan para kombatan GAM. Ini terjadi karena mereka tidak mungkin untuk mengangkat senjata, karena Aceh tetap menjadi bagian dari RI.
Tujuan DDR antara satu Negara dengan Negara lainnya sangat berbeda. Beberapa tokoh mengajukan bahwa DDR hanya sebuah program yang berkaitan dengan factor keamanan. Dengan adanya konflik-konflik bersenjata sangat berpengaruhterhadap segala bidang tertentu, seperti di bidang ekonomi membawa dampak konflik yang berkepanjangan. Konflik bersenjata mengakibatkan kerusakan yang cukup berarti nterhadap infrastruktur fisik, social dan ekonomi yang menghambat kesempatan kerja yang produktif, dan kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Terdapat pula keterpisahan konsepsional dimana pemerintah tidak menjadikan pemberdayaan ekonomi korban konflik dan mantan petempur sebagai bagian dari agenda pembangunan ekonomi daerah. Bantuan yang diberikan masih bersifat emergency response dan tidak menyentuh semua lapisan masyarakat korban konflik.
Selain di bidang ekonomi, terdapat pula dampak dan hambatan di bidang politik, hokum dan keamanan. Program- program DDR biasanya dijalankan dalam konteks keamanan yang sangat menegangkan. Hal ini terbukti bahwa semakin banyak campur tangan pemerintah pusat dalm mengatur perjalanan politik dan pemerinatah di Aceh yanh akan membuka peluang kepada masyarakat Aceh bersatu dan akan menemukan perbedaan antara masyarakat dengan pemerintahan pusat. Selain itu opini public sering kali tidak bisa menerima pemberian absolute bagi mantan gerilyawan. Hal itulah yang dapat memberikan dampak negative terhadap reintegrasi dalam jangka panjang.
Di sampig itu dampak konflik terlihat juga di bidang social budaya yang menyebutkan bahwa Reintegarasi adalah proses dimana mantan gerilyawan memasuki kehidupan sipil dan bergabung dengan masyarakat sipil melalui komunitas mereka. Profil pendidikan dan keterampilan para gerilyawan hanya menggambarkan sebagian kecil identitas mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami apa yang ingin dicapai para mantan gerilyawan dalam kehidupan mereka diluar keinginan untuk segera menperoleh penghidupan.
BRDA sebagai salah satui actor kunci harus mapu membuat langkah-langkah stategis untuk mengtasi berbagai persoalan yang ada. Program-program reintegrasi yang dicanangkan dan dilaksanakan oleh BRDA ternyata relative kurang optimal. Harus dipahami bahwa penanganan Aceh pasca konflik jauh lebih penting dan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan prosrs rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana gempa dan tsunami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar